Cirebon dan Guangzhou Bangkitkan Kembali Jejak Sejarah Jalur Sutra Maritim
KABUPATEN CIREBON — Di jantung pesisir utara Pulau Jawa, sebuah kisah agung tentang pertemuan peradaban kembali menggema. Kabupaten Cirebon menjadi tuan rumah Forum Perlindungan Warisan Jalur Sutra Maritim, sebuah agenda prestisius hasil kolaborasi antara Pemerintah Kabupaten Cirebon dan Pemerintah Kota Guangzhou, Tiongkok.
Diselenggarakan di Hotel Patra Jasa di Kecamatan Kedawung, forum ini menjadi momen bersejarah dalam menggali kembali akar kejayaan pelayaran dan perdagangan antara dua bangsa yang telah terjalin sejak berabad-abad silam.
Bupati Cirebon, Imron, menegaskan bahwa kekayaan budaya Cirebon tak bisa dilepaskan dari peran besar para pelaut Tionghoa, khususnya tokoh legendaris Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming.
Sosok pelaut ulung ini bukan hanya membawa rempah dan keramik, tetapi juga menyebarkan pengaruh budaya, ilmu pengetahuan, hingga nilai-nilai toleransi.
“Laksamana Cheng Ho membawa pengaruh besar terhadap perkembangan pelabuhan dan kerajaan di Cirebon. Pelabuhan Muara Jati bahkan dikenal luas hingga mancanegara,” ujar Imron.
“Dari sinilah akulturasi budaya mulai tumbuh dan membentuk identitas Cirebon seperti yang kita kenal hari ini,” ucapnya menambahkan.
Jejak percampuran budaya itu masih hidup dan nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kabupaten Cirebon. Dari cita rasa kuliner seperti nasi goreng, capcay, moho, bakpao, hingga sayuran kailan dan pakcoy yang kini menghiasi meja makan rumah tangga.
Arsitektur bergaya Tionghoa dan motif batik dengan sentuhan Tiongkok menjadi bukti visual dari harmoni budaya yang telah berlangsung berabad-abad.
Ekspedisi Cheng Ho dan Warisan yang Tenggelam
Bupati Imron juga mengisahkan tentang tujuh ekspedisi besar Cheng Ho yang melibatkan lebih dari 27.000 awak dan ratusan kapal. Salah satunya membawa sang laksamana ke Muara Jati pada sekitar tahun 1415.
Di sana, rombongan Cheng Ho tidak hanya berdagang, tapi juga membangun mercusuar, serta membentuk komunitas Muslim Tionghoa di wilayah seperti Srindil, Talang, dan Gunung Sembung, dipimpin oleh tokoh Qung Wu dari mazhab Hanafi.
“Jejak sejarah ini ingin kita hidupkan kembali. Bahkan kami berencana membangun museum khusus dan menggali data sejarah lebih mendalam,” tutur Imron.
“Para peneliti menyebutkan, masih banyak bangkai kapal karam era Cheng Ho di perairan Cirebon yang belum diungkap. Ini bisa menjadi bukti kuat hubungan historis antara Cirebon dan Tiongkok,” lanjutnya.
Dari Guangzhou untuk Dunia, Cirebon Menjadi Titik Terang Jalur Sutra
Ketua Delegasi Tiongkok, Liu Xiao Ming, menyampaikan apresiasinya terhadap kekayaan sejarah dan peran strategis Cirebon dalam Jalur Sutra Maritim.
Menurutnya, Cirebon adalah contoh hidup dari integrasi budaya lintas bangsa, tempat nilai-nilai Tionghoa, Arab, India, dan Jawa bertemu dan menyatu.
“Cirebon adalah simpul penting dalam jaringan perdagangan kuno Asia Tenggara. Temuan kapal karam Dinasti Song Utara tahun 2005 di laut Cirebon, yang memuat lebih dari 230.000 artefak seperti keramik dan uang logam, adalah bukti otentik kekuatan relasi itu,” ungkap Liu.
Ia juga menyebutkan bahwa sejak 2023, Guangzhou telah menginisiasi program budaya “Ungkapan Bunga Jalan Sutra” di Cirebon.
Puncaknya, pada November 2024, Cirebon resmi menjadi kota pertama di Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Kota Warisan Jalur Sutra Maritim, memperkuat statusnya sebagai kota bertaraf internasional dalam pelestarian sejarah maritim dunia.
Forum ini menjadi lebih istimewa, karena bertepatan dengan peringatan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok pada tahun 2025.
Kedua belah pihak menyatakan komitmennya untuk terus mempererat kerja sama, terutama dalam bidang budaya, sejarah, dan pariwisata berbasis warisan.
“Melalui kerja sama ini, kami berharap menciptakan model kolaborasi internasional yang nyata dalam perlindungan dan pengembangan warisan Jalur Sutra Maritim,” tutup Liu. (din)