Melestarikan Tradisi Leluhur Pesantren Benda Kerep yang Toleran

JEMBATAN PENGHUBUNG : Tampak pada jembatan terlihat bebatuan yang ditata dan tertali baja sebagai pegangan untuk penyebrangan warga Pesantren Benda Kerep. (dok, Indah)


FOKUS CIREBON, (FC) - Satu dari sekian banyak pesantren tua di Cirebon, Jawa Barat, adalah Pesantren Benda Kerep. Usianya sudah 194 tahun dengan berpegang teguh nilai-nilai yang diwariskan para pendahulunya. Pesantren dengan corak tradisional ini tak lantas menjadi eksklusif dalam aktivitas kesehariannya. 

Pesantren Benda Kerep berada di Kampung Benda Kerep, Kelurahan Argasunya Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Kehidupan religius dan praktik tradisional yang masih kental di Pesantren Benda Kerep, yang juga mewarnai warga perkampungannya, menumbuhkan semangat keberagaman dan toleransi. Hal itu dapat dilihat dari sejumlah aktivitas para santri dan warga Benda Kerep yang terbuka, menghargai, dan bekerja sama dengan masyarakat luas di Cirebon yang sangat heterogen, baik agama maupun etnisnya.

Menengok ke dalam perkampungan pesantren ini, pertama yang terdengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang bergema di setiap penjuru Benda Kerep. Terik matahari pukul 11.00 siang itu pun tak tampak mengusik para santri dan warga di sana yang tengah mengkhidmati ayat demi ayat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. 

Masjid tertua Pesantren Benda Kerep yang didirikan oleh Mbah Soleh 

Suasana seperti ini menjadi rutinitas para santri, laki-laki dan perempuan, sambil menunggu adzan salat Zuhur tiba.

Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 11.45. Terlihat para santri lalu-lalang bergegas mengambil air wudu untuk bersiap mengikuti salat Zuhur berjamaah. Suara bedug dipukul beberapa kali oleh pria paruh baya yang menjadi muadzin di masjid tertua pesantren itu. Di sana tak ada pengeras suara untuk mengumandangkan adzan, namun semua santri mendengarkannya dengan khidmat.

Bangunan rumah pertama yang ada di Kampung Pesantren Benda Kerep 

Kampung pesantren yang hanya dihuni oleh sekitar 100 kepala keluarga itu seakan terpisah dari pusat administrasi Kota Cirebon. Untuk masuk ke lokasi pesantren dari Kota Cirebon terhalang sungai yang cukup besar dan tidak ada jembatan untuk menyebranginya. 

Sedangkan ke arah selatannya berbatasan dengan hutan yang cukup lebat. Penduduk di sana nyaris terisolir dari hiruk-pikuk kehidupan modernitas Kota Cirebon. 

Setiap individu warganya masih memegang teguh budaya dan tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun dari leluhur sampai sekarang.

Pengasuh pesantren Benda Kerep, KH Muhammad Miftah atau orang-orang sekitar memanggilnya dengan sebutan Kang Miftah, menceritakan kepada Fokus Cirebon, bahwa sampai saat ini tidak ada satupun alat transportasi yang masuk dan melewati lingkungan pesantren.

Tidak ada barang elektronik seperti televisi, radio, pengeras suara dan jenis lainnya yang dipakai di lingkungan kampung pesantren. Ini semua bukan karena warga di sini tidak mampu membelinya. 

"Kami sengaja tidak menggunakanya demi menjaga dan melestarikan tradisi dan budaya dari leluhur kami," jelas Kang Miftah saat ditemui di kediamannya yang merupakan rumah pertama yang ada di Kampung Pesantren Benda, Kamis (19/11). 

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, warga pesantren sesekali pergi ke kota membeli kebutuhan pokok. Mereka turun menyebrangi sungai melewati batu-batuan yang ditata dan tali baja sebagai pegangannya untuk meniti sampai di seberang. Di situ tidak ada akses jembatan untuk melewati sungai besar yang kadang airnya deras saat musim penghujan. 

Ini merupakan wasiat dari KH Maulana Muhammad Soleh atau lebih dikenal dengan panggilan Mbah Soleh, sang pendiri kampung Pesantren Benda Kerep yang melarang didirikannya jembatan. Mbah Soleh berwasiat agar tidak membuat jembatan. 

"Mungkin di dalamnya terdapat rahasia, sehingga saya tidak bisa memaksakan. Karena, katanya, kalau dari utara ke selatan memang tidak boleh dibangun jembatan, tapi kalau untuk menuju makam Mbah Soleh ada jembatan alternatif," ungkapnya.

Untuk menuju pasar terdekat yang jaraknya 7,1 km membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam. Biasanya warga berjalan kaki beberapa kilometer menuju kampung yang sudah dilalui kendaraan. Meski warga Pesantren Benda dikenal kuat mempertahakan budaya dan tradisi, namun mereka tidak menutup diri saat berada di lingkungan luar. Mereka tetap berbaur saling menghormati dan sangat menjunjung semangat toleransi, baik dengan sesama agama maupun dengan agama lain.

Nilai-nilai toleransi yang selalu ditinggikan ini sangat terlihat ketika tahun lalu delegasi dari 24 negara datang mengunjungi pesantren tertua di Cirebon itu. Mereka datang dalam rangka menghadiri budaya Jaga Kali yang biasa dilakukan tiap tahun.

Karena keterbukaan dan penghargaan warga pesantren terhadap para tamu dengan latar belakang identitas yang berbeda-beda sangat dimajukan, delegasi-delegasi yang berkunjung pun menghormati tradisi Pesantren Benda Kerep. Turis perempuan yang berbeda agama, datang dengan inisiatif pakaian tertutup dan menutupi kepalanya dengan kain. Begitu juga para santri dan warga di lingkungan pesantren, mereka menyambut para delegasi dengan antusias dan sangat menghormati keberagaman, baik perbedaan tradisi, budaya, agama, dan kebangsaan.

Sejatinya setiap tahun pesantren ini selalu ada kunjungan dari tamu-tamu dari berbagai negara, dan sudah barang tentu dari sekitar Cirebon dan masyarakat Indonesia lainnya dengan beragam latar belakang. 

"Dulu waktu saya melanjutkan pendididkan doktoral di California University, saya terbiasa menerima pebedaan dan keberagaman. Di saat idil fitri tiba, mereka yang bukan muslim biasa mengucapkan selamat Idul Fitri. Begitu juga disaat Hari Natal tiba, saya pun mengucapkan Selamat Natal pada mereka yang merayakanya. Nilai-nilai toleransi seperti itu saya terapkan juga di sini," jelas Kang Miftah sambil meminum kopi.

Nilai-nilai toleransi yang didorong pesantren tradisional di Cirebon ini sangat berarti bagi kehidupan masyarakat Cirebon yang meskipun relatif toleran, dengan cara beragama yang sangat moderat, tetapi kerap kali ditingkahi ideologi bahkan aksi warga yang berbasis kekerasan, seperti aksi terorisme di Polresta Cirebon atau penangkapan-penangkapan terduga teroris di Cirebon dan sekitarnya.

Budayawan yang menceritakan tentang Pesantren Benda, saat ditemui di Sangga Seni Kencana Ungu 

Apa yang diutarakan pimpinan Pesantren Benda Kerep terkait upaya menghidupkan toleransi ini juga diceritakan oleh budayawan Cirebon Sofyan Satari. Lelaki yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Kang Opang ini menuturkan bahwa Pesantren Benda Kerep merupakan tempat bersejarah, ketika zaman penjajahan Belanda, Pesantren Benda Kerep sempat menutup diri sekitar 100 tahun lamanya. Semua itu dikarenakan Pesantren Benda Kerep takut pengaruh-pengaruh kolonial masuk dan mengadu domba para santrinya.

"Pesantren Benda sebenarnya menjunjung tinggi nilai-nilat toleransinya sejak dulu. Tapi pesantren itu sempat menutup dirinya pada masa kolonial karena pada saat itu Mbah Soleh takut para santrinya terpecah-belah, diadu domba oleh Belanda," ungkapnya saat ditemui di Sanggar Seni Kencana Ungu (1/11).

Menurut Kang Opang, posisi Mbah Soleh dan pesantren saat ini non-kooperatif terhadap kebijakan para penjajah. Namun setelah era kolonial lewat, pada tahun 1980, Pesantren Benda Kerep mulai terbuka dan bekerja sama dengan masyarakat luas dari berbagai latar belakang.

Permadi Budiatna, kisah Kang Opang, adalah warga Cirebon beragama Kristen yang dengan baik diterima Pesantren Benda Kerep ketika membangun kerja sama mendirikan atau membangun listrik di kampung yang dulunya berdiri pohon benda yang sangat lebat dan rapat (kerep, bahasa Sunda). Sejak saat itu hubungan Permadi dengan pesantren sangat erat. 

Salah satu bukti toleransi yang saya ketahui adalah pada tahun 80-an, Pesantren Benda Kerep bekerja sama dengan seorang non-muslim untuk mendirikan listrik, ceritanya.

Sudut pandang lainnya mengenai toleransi Pesantren Benda Kerep dituturkan pula oleh Effendy yang merupakan tokoh agama Budha di Vihara Dewi Welas Asih, Cirebon. Ia berkawan baik dengan salah seorang warga Benda Kerep yang memegang adat istiadat yang sampai hari ini dilestarikan di pesantren.

Sebagai tokoh agama Budha, ia pun tidak canggung untuk memasuki wilayah pesantren. Ia bersama kawan akrabnya dari Benda Kerep pernah berkunjung ke Pesantren Benda. Ia pun merasa sangat lega karena etnis dan agamanya yang berbeda tetapi disambut hangat oleh para santri dan warga Pesantren Benda Kerep.

Effendy juga menganggap interaksi sehari-hari santri yang sekaligus warga Pesantren Benda Kerep dengan masyarakat luar sangat harmonis, termasuk dengan agama maupun etnis minoritas yang berbeda dengan mereka.

"Saat itu saya ikut dengan teman saya, orang Kampung Benda juga, dia mau mengambil pasir ke sana. Ketika saya sampai di Benda, warga pesantrennya menyambut saya dengan hangat. Mereka mengajak berbincang, dan lain-lain. Mereka memperlakukan saya layaknya seperti kawan-kawannya," tuturnya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Tedy, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN) Cirebon. Ia mengaku dirinya belum pernah ke Kampung Benda, tetapi ia mengetahui keberadaan kampung tersebut langsung dari warga Kampung Pesantren Benda yang sering berhubungan, termasuk ketika mereka mengirim barang-barang material ke klenteng tempatnya beraktivitas.

Bangunan rumah pertama yang ada di Kampung Pesantren Benda Kerep 


Sebagaimana banyak diketahui, interaksi warga Kampung Pesantren Benda dengan masyarakat sekitar Cirebon di antaranya adalah mata pencaharian mereka yang menggali secara tradisional pasir dan batu-batu material untuk bangunan. Dari sanalah Tedy banyak bertemu dan bekerja sama dengan penduduk Kampung Pesantren Benda.

"Saya justru lebih kenal dengan masyarakta Bendanya yang bekerja di sini. Pas saya tanya dari mana, mereka jawab dari Benda," katanya saat ditemui di Klenteng Talang.

Ia juga berpendapat, jika Kampung Pesantren Benda yang masih tradisional merupakan aset negara yang harus dijaga, karena mereka mempertahankan tradisi atau adat dan istiadat yang sekaligus sangat ramah, sederhana, dan menghormati perbedaan.

"Saya rasa seharusnya keasliannya Pesantren Benda itu aset negara yang harus dijaga," imbuhnya.

Harapan-harapan masyarakat terhadap pesantren tersebut, sebenarnya semangat yang selalu diajarkan dan diwariskan Kang Miftah, sebagai pimpinan pesantren yang sangat berpengaruh, kepada para santri dan warganya untuk turut menghidupkan semangat keberagaman dan penghormatan hubungan lintas iman di Cirebon dan di manapun nantinya para santri bersosialisasi. Tidak ada halangan bagi relasi dan kerja sama antaragama, etnis, dan budaya-budaya yang berbeda.

Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN) yang sedang menjelaskan kerja sama antara Klenteng Talang dan warga Kampung Pesantren Benda

“Pesantren sangat membolehkan para santri dan warga Pesantren Benda Kerep untuk mengucapkan Natal dan hari raya agama-agama lainnya kepada non-muslim yang sedang merayakan hari besar mereka," tegas Kang Miftah. (Indah)

Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 

Terkini