Lewat Webinar, PSGA IAIN Cirebon Bedah Persepektif Postcolonial Dalam Gerakan Perempuan

Webinar tentang persepektif postcolonial dalam gerakan perempuan, Selasa, (8/6/2021).


FOKUS CIREBON, FC - Pusat Study Gender dan Anak IAIN Syekh Nurjati Cirebon sangat tertarik untuk membahas soal-soal perempuan dan pergerakannya. Untuk membedah segment ini, PSGA IAIN Cirebon menggelar webinar tentang persepketif postcolonial dalam gerakan perempuan, Selasa, (8/6/2021).

Dalam kegiatan ini, PSGA mengundang dua pemateri terkemuka yakni Katrin Bandel, Ph.D (Muslimah Jerman, Universitas Sanata Darma Yogyakarta), dan Wakhit Hasim, M. Hum (IAIN Syekh Nurjati Cirebon) dengan di moderatori oleh Mumtaz Afridah, M. Psi.

Ketua PSGA IAIN SNJ Cirebon,  Naila Farah M.Ag dalam sambutannya menjelaskan, postcolonial adalah strategi penjajah yang sangat menarik untuk didiskusikan, mengingat posisi perempuan pada persepektif postcolonial dalam gerakan perempuan sangat  membatasi ruang gerak perempuan dalam ruang bermasyarakat.

Sementara itu, Katrin Bandel, Ph.D (Muslimah Jerman, Univ. Sanata Darma Yogyakarta), pemateri pertama menyatakan, membedah tentang pengalaman perempuan dalam konteks pascakolonial memang menjadi sudut pandang tersendiri. Apalagi menempatkan kajian gender dalam konteks lebih global, sebab dari konteks relasi kekuasaan global ini akan lebih terlihat kehidupan yang senyatanya.

Katrin juga menjelaskan bahwa penjajahan ini memiliki efek yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah budaya bercampur (hibrid) antara budaya lokal dan eropa, dengan catatan bahwa yang lokal direndahkan dan yang barat dipandang superior.

"Inilah efek dari postcolonial di mana yang lokal dianggap tertinggal dan primitif dan berbeda dengan barat yang superior," jelasnya. 

Dalam situasi ini, tentu identitas diri menjadi masalah, di mana muncul perasaan inotentitas (merasa tidak otentis), kemudian kalau meniru penjajah juga, maka pribumi tidak akan pernah menjadi sama dengannya.

Kemudian, identitas murni pun sulit dicari, baik karena hibridiaasi yang sudah terjadi, maupun karena tradisi lokal pun tidak lepas dari pengaruh penjajah.

"Jadi hubungan dengan budaya penjajah, maupun dengan budaya sendiri menjadi ambivalen. Karena merasa tertindas tapi sekaligus mengagumi penjajah," terang Katrin.

Katrin juga menjelaskan, bahwa situasi yang kompleks tersebut mempengaruhi tatanan gender, di mana perempuan dituntut dan menuntut diri menjadi modern, yaitu mengadopsi identitas yang dipandang superior dan lebih maju.

Di sisi lain, perempuan juga sering dituntut untuk mempertahankan tradisi di saat dunia luar terus bertransformasi, sehingga rumah tangga dijadikan sebagai ruang pertahanan adat ketimuran.

Dicontohkan oleh Katrin, bahwa konsep ambivalensi itu, bisa dilihat dari pengalaman perempuan terjajah, seperti tokoh Nyai Ontosoroh dalam Tetralogi Pramoesya Ananta Toer.

"Jadi sangat jelas, kolonial ini mencoba untuk mengkonstruksi perempuan yang diciptakan oleh situasi kolonial ini, dan perempuan elit kolonial ini menjadi kekuatan baru dari perempuan baru yang diciptakan, seperti mahasiswa yang kuliah di barat dan lainnya," katanya.

Selain itu juga muncul representasi, yakni munculnya pengusaha, pendidikan serta organisasi feminis. Ini tentu menjadi problematis tersendiri, karena subaltern ini terjadi relasi yang rumit, antara elit perempuan dengan perempuan subaltern yang ingin mempresentasikannya. 

Maka untuk menyentuh perempuan subaltern ini, kata Katrin, maka dibutuhkan literasi internasional, agar perempuan subaltern (masyarakat yang paling tertindas) seperti komunitas buruh dan lainnya dapat mewujudkan struktur institusional yang memvalidasi suaranya (Perempuan subaltern).

Wakhit Hasyim pembicara kedua secara singkat juga menjelaskan tentang seputar perjuangan keadilan laki-perempuan di Indonesia. Yang dimulai dari kekerasan perempuan.

Kekerasan perempuan menurut  hukum, katanya, merupakan tindakan serangan satu individu kepada individu lain yang berdampak merugikan, melukai, memanfaatkan dan lain-lain. 

Kekerasan itu, terang Wakhit, ada dalam unsur susunan sosial. Sebab susunan sosial menyangkut  manusia sebagai kelompok, proses atau relasi, nilai atau norma serta lembaga sosial.

Wakhit juga menjelaskan, bahwa hal itu juga bisa dilihat dari sudut pandang psikologi kekerasan, yakni kekerasan yang bersifat relasional, juga relatif bersifat intensional, termasuk ekspresi intensional mewujudkan dalam kesadaran patriarki berlapis, seperti kesadaran kognisi, kesadaran afeksi dan kesadaran psikomotor. Selain juga bersifat berkesadaran, kekerasan juga memiliki dimensi ketidaksadaran.

"Dimensi wacana ini membuat kekerasan yang dimaklumi dan poligami yang dibenarkan secara sesuai peran gender. Termasuk menjadikan perempuan dalam patriatki, yakni ada konstruksi dan strukturasi, yaitu membentuk dan dibentuk," jelasnya.

Tetapi kita juga tahu bahwa narasi kewacanaan dibalik perempuan, seperti yanh twrjadi di Indonesia, di antaranya politik etik swbagai anak renaissance (Kartini), kemudian revolusi dan peran penting perempuan (orde lama), pembangunan melibatkan perempuan (orde baru) serta  gender dan pembangungan (reformasi). (din)

Terkini