Mantan Menteri Agama Lukman Hakim, Ingatkan Kondisi Faktual Keberagamaan Di Indonesia


CIREBON, FC - Lukman Hakim Saifuddin, selaku narasumber pertama mengatakan, kondisi faktual keberagamaan kita saat ini berada pada dua titik ekstrem, sehingga perlu ada pemahaman dan upaya untuk memoderasi cara beragamanya, bukan agamanya. 

“Mengutip data penelitian yang dilakukan oleh Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. tentang literatur keislaman Generasi milenial, hasilnya menunjukkan bahwa generasi milenial sangat memiliki minat untuk untuk melakukan akses terhadap literatur keagamaan,” ujar Menteri Agama Periode 2014-2019 itu.

Ia menegaskan, letak masalahnya adalah pada pilihan topik, di mana jihad dan khilafah paling banyak diminati. Sehingga pemahaman agama dengan cinta dan kasih sayang harus ditanamkan pada setiap generasi muslim.

Senior Lecturer in the Study of Islam and Society, Griffith University, Australia, Adis Dudireja yang hadir sebagai narasumber kedua menyampaikan perlunya filtrasi paham dan ekspresi keberagamaan dengan cinta dan wawasan yang baik. Sehingga generasi muslim tidak terjebak dalam pemahaman keagamaan yang ekslusif dan ekstrem. 

Lebih lanjut, menurut Mohammad Sobri, selaku narasumber ketiga mengungkapkan, Indonesia sesungguhnya memiliki perangkat yang ideal untuk mewujudkan kehidupan keberagamaan yang tengah-tengah, yaitu dengan Pancasila. 

“Pancasila sangat relevan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi muslim sekaligus bagian dari warga negara adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Menutup sesi diskusi, Alissa Wahid selaku narasumber keempat  menekankan pentingnya pengarusutamaan moderasi beragama di Indonesia. Melalui Komitmen kebangsaan, Toleransi antar kelompok, Anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi dan adat istiadat. 

“Signifikansi pengarusutamaan ini paling tidak dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, kehadiran agama untuk menjaga martabat manusia dengan pesan utama rahmah (kasih-sayang). Kedua, pemikiran keagamaan bersifat historis, sementara realitas terus bergerak secara dinamis. Ketiga, Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dirawat melalui strategi kebudayaan,” ujar puteri Gus Dur dan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian itu.

Dr. Faqihudin Abdul Kadir, dosen senior IAIN Syekh Nurjati mempertegas bahwa perspektif moderasi dalam pemahaman teks-teks keagamaan dan kehidupan praksis sosial sangat penting untuk dilakukan. 

Ia melanjutkan, bagaimana perspektif moderasi dalam pemahaman teks-teks keagamaan ini bukan hanya menjadi standar operasional dalam kajian tetapi juga merasuk  dan membudaya dalam kehidupan praksis sosial. 

“Tantangan lain yang lebih nyata adalah bagaimana perspektif moderasi dalam pemahaman teks-teks keagamaan dan kehidupan praksis sosial ini menjadi life style bagi kalangan milenial yang tengah lelap dengan pola kehidupan disruptif,” ujarnya.

Ia berharap, dengan menghadirkan unsur pembuat kebijakan, akademisi, dan kalangan muda milenial pada kegatan hari ini dapat mengahsilkan rekomendasi-rekomendasi yang cerdas dan membumi dalam upaya pengarusutamaan moderasi beragama dalam menyongsong kehidupan masyarakat yang lebih damai, aman, dan sentosa. (Fal)

Terkini